Mengenal Konsep Behavioral Finance pada Investasi dan Bias Kognitif di Dalamnya

Dalam dunia investasi, pengambilan keputusan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh investor. Pasalnya, tepat mengambil keputusan mampu memberi peluang tinggi terhadap potensi keuntungan dari aktivitas investasi. Latar pengambilan keputusan investor pun umumnya dipengaruhi oleh berbagai macam hal, salah satunya adalah behavioral finance. 

Sudah menjadi rahasia umum jika dalam mengambil keputusan, terkadang investor tak melakukannya dengan dasar sikap rasional. Melainkan, pengambilan keputusan oleh investor tidak jarang juga dipengaruhi batasan terhadap pengendalian dirinya. Karenanya, pemahaman tentang behavioral finance atau perilaku keuangan ini menjadi penting karena bisa membantu investor untuk lebih bijaksana dalam membuat keputusan.

Tapi, apa sih yang sebenarnya dimaksud dengan behavioral finance ini, termasuk konsep dan bias kognitif yang ada di dalamnya? Nah, jika kamu ingin tahu jawabannya, simak penjelasan lengkap tentang behavioral finance dan berbagai hal penting seputarnya berikut ini. 

Baca Juga: Kerap Ditemui di Dunia Trading, Ini Pengertian Forward Contract, Karakteristik dan Beragam Jenisnya

Bingung cari investasi Reksa Dana yang aman dan menguntungkan? Cermati solusinya!

Mulai Berinvestasi Sekarang!  

Pengertian Behavioral Finance

loader

Behavioral Finance

Dikemukakan pertama kali oleh Amos Tversky, Ribert J. Shiller, dan Daniel Kahneman, behavioral finance adalah istilah yang mengacu terhadap pengaruh dari psikologi investor atas pengambilan keputusan investasinya. Meski dikemukakan di tahun 1970 hingga 1980an, tapi pada dasarnya konsep ini sudah dikembangkan dari pertengahan abad ke 19.

Penerapan dari behavioral finance sendiri pada konteks psikologi di pasar modal sudah dilakukan di tahun 1912 oleh G.C. Shelden. Intinya, konsep ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh investor saat investasi. Tentunya, kamu perlu memahaminya agar mampu lebih akurat dan tepat dalam mengambil keputusan, memaksimalkan keuntungan, dan meminimalkan risiko kerugian. 

Melalui teori behavioral finance ini diketahui jika pengambilan keputusan investasi tak selalu didasarkan dari sikap rasional. Pasalnya, setiap orang mempunyai batasan terkait pengendalian diri serta sering kali mendapat pengaruh subjektivitas. 

Tujuan dari behavioral finance adalah memahami serta memperkirakan dampak pasar modal secara sistematis dari segi psikologi. Walaupun begitu, sampai saat ini belum ada konsep behavioral finance yang terintegrasi. Konsep atau teori yang kerap digunakan hanya mampu mengidentifikasi aspek yang berdampak pada pengambilan keputusan saja.

Konsep pada Behavioral Finance

Alasan dibuatnya konsep behavioral finance adalah karena terdapat sejumlah alasan kenapa bisa dapat muncul pada proses pengambilan keputusan. Berikut adalah 5 konsep dari behavioral finance yang perlu kamu ketahui.

  1. Mental Accounting

    Pada konteks behavioral finance, yang dimaksud dengan mental accounting adalah kecenderungan untuk menyimpan maupun mengalokasikan dana dengan tujuan tertentu. Artinya, orang dengan kebiasaan ini cenderung mengeluarkan dana bernilai sama pada nilai yang berbeda. Imbasnya, muncul aktivitas finansial menjadi tidak teratur.

    Untuk menyiasatinya, investor dianjurkan untuk menggunakan nilai sama pada aset setara. Selain itu, mereka juga sebaiknya mengenali bias ini saat akan mengambil keputusan tertentu. 

  2. Herd Behavior

    Selanjutnya ada herd behavior, yaitu kecenderungan seseorang dalam mengikuti pola dari individu lain. Sebagai contoh, mengikuti jejak rekan yang berinvestasi di sebuah perusahaan tanpa melakukan analisis sendiri. Perilaku ini bisa memberi dampak yang buruk karena tak ada landasan yang jelas dalam mengambil keputusan. 

  3. Emotional Gap

    Kuatnya emosi investor ketika mengambil keputusan bakal menyebabkan dampak kurang baik sebab membuat investor tak mampu menentukan pilihan secara rasional. Pengambilan keputusan melalui emotional gap juga sering terjadi pada mereka yang terlalu percaya pada tren. 

    Cara untuk menghindari pola ini adalah dengan menanamkan niat dan komitmen pada diri sendiri guna melakukan analisis secara mendalam saat akan membeli instrumen investasi. Sehingga, risiko menelan kerugian karena sekadar ikut-ikutan tren bisa diminimalkan. 

  4. Anchoring

    Apabila investor mempunyai standar terkait harga saham ketika mengambil keputusan, artinya dia mempunyai sikap keuangan anchoring. Penggunaan konsep anchoring ini ketika investasi bisa menyebabkan seseorang terpaku pada nilai tertentu serta cenderung mengabaikan berbagai hal penting. 

    Contohnya, kamu menanam modal sebesar 25 juta pada sebuah perusahaan. Lalu, kamu menggunakan nilai pembelian dalam menentukan nilai saham. Padahal, nilai dari saham tersebut bersifat fluktuatif. 

  5. Self Attribution

    Pada konteks behavioral finance, konsep self attribution mengacu pada kecenderungan untuk memilih keputusan dengan dasar kemampuan serta ilmu yang dimiliki. Biasanya, orang dengan perilaku keuangan ini memandang dirinya sebagai ahli maupun lebih hebat ketimbang investor lain. 

    Bias ini menyebabkan pengambilan keputusan kurang bijak dan salah. Untuk mengatasi perilaku ini bisa dengan berkonsultasi pada pihak profesional atau investor ulung yang memiliki bukti kesuksesan. Sehingga, investor bisa mendapatkan perspektif lain dan membantunya menentukan keputusan yang lebih tepat. 

    Baca Juga: Dorong Karier dan Value, Yuk Cari Tahu Cara Terbaik Investasi Diri dan Jenisnya

Bias Kognitif pada Behavioral Finance

Selain konsepnya, kamu juga perlu memahami tentang bias kognitif dari behavioral finance. Ada 8, berikut adalah penjelasannya.

  1. Representative Bias

    Bias yang pertama ini mengacu pada kecenderungan menilai objek dengan dasar purwarupa maupun konsep yang ada di pikiran. Biasanya, purwarupa atau konsep yang digunakan ini berasal dari pengalaman atau masa lalu dan dianggap masih relevan sampai sekarang. Karena bias ini investor cenderung tak menganalisis keputusan yang akan diambilnya. 

  2. Anchoring & Adjustment Bias

    Bias ini mengacu pada kecenderungan seseorang menggunakan sebuah informasi menjadi dasar ketika mengambil keputusan. Alhasil, bias ini menyebabkan hasil analisis yang kurang akurat. 

  3. Availability Bias

    Bias yang ketiga ini merupakan kecenderungan investor dalam membuat keputusan dengan dasar kemudahan maupun kemampuan membayangkan atas hal tertentu. Karena bias ini, investor kerap mengambil keputusan dengan dasar hal termudah yang bisa dilakukannya. Investor dengan bias ini yakin jika investor lainnya juga melakukan hal yang sama.

  4. Self Attribution Bias

    Bias self attribution ini merupakan kecenderungan untuk menganggap jika keberhasilan investasi seseorang hanya bisa didapat dari kapasitasnya sendiri. Alhasil, investor bakal menyalahkan orang lain apabila strateginya gagal atau tidak memberi hasil sesuai ekspektasi. 

  5. Illusion of Control

    Bias yang selanjutnya ini berarti kecenderungan investor percaya jika ia mempunyai kendali penuh terhadap pencapaiannya. Padahal, kesuksesan investasi tersebut dipengaruhi pula oleh pasar, kondisi perusahaan, dan kondisi ekonomi. Beberapa prediksi mungkin berhasil pada jangka pendek, namun untuk jangka panjang strategi serupa mungkin akan memberi hasil berbeda. 

  6. Conservatism Bias

    Yang keenam ada conservatism bias, yaitu seseorang mempunyai penilaian awal serta menyangkal adanya perubahan pada investasinya. Hal ini memicu pengambilan keputusan yang terlambat karena abai dengan kabar terkini. 

  7. Confirmation Bias

    Bisa disebut pula sebagai selection bias, jenis bias ini mengacu pada seseorang yang cenderung mencari data atau informasi untuk mendukung keputusannya. Sehingga, investor bakal mengabaikan informasi yang tak sesuai atau bertentangan dengan keputusannya. 

  8. Hindsight Bias

    Terakhir ada hindsight bias, yaitu kecenderungan untuk melebihkan keberhasilan maupun prestasi investasi pada masa lalu. Hal ini tak memedulikan tentang apakah hasil pencapaian tersebut merupakan upayanya sendiri atau hanya keberuntungan saja. 

    Baca Juga: Tentang ROI dalam Investasi Properti, Begini Rumus dan Cara Akurat Menghitungnya

Contoh dari Behavioral Finance

loader

Behavioral Finance

Agar lebih memahaminya, berikut adalah beberapa contoh dari behavioral finance.

  • Bias Pengalaman

    Misalnya, di tahun 2015 sebuah perusahaan A digugat karena produknya memiliki kandungan pengawet yang dilarang. Di tahun 2022, perusahaan B mendapat gugatan sama, dan karena hal tersebut semua investor di perusahaan B memutuskan untuk langsung menjual sahamnya. 

    Lalu, media membuat berita terkait masalah perusahaan B ini dan karena khawatir, investor di perusahaan C dan D melakukan hal yang sama. Kondisi tersebut memicu saham perusahaan di sektor yang bersangkutan anjlok. Hal ini dikarenakan investor pada perusahaan C dan D memiliki bias pengalaman dari peristiwa sebelumnya, atau emotional gap di mana keputusan diambil berdasarkan tren. 

  • Bias Emotional Gap

    Contohnya banyak investor membeli saham dari perusahaan X karena menjanjikan keuntungan yang besar. Implikasinya, perusahaan tersebut sahamnya habis terjual. Lalu, sebulan berjalan, baru diketahui jika perusahaan X mempunyai saham gorengan, yaitu saham yang fluktuasinya tingi, tapi tak punya fundamental bagus hingga membuat investor tersebut merugi. 

Ketahui Kecenderungan Diri Agar Meminimalkan Risiko Merugi saat Investasi

Kesimpulannya, behavioural finance merupakan kajian yang mempelajari terkait pengaruh psikologi pada pengambilan keputusan investor. Bias yang terjadi karena kondisi ini bisa berimbas buruk pada aktivitas investasi. Karenanya, pastikan untuk memahami kecenderungan diri dan cari tahu cara untuk menyiasatinya agar mampu meminimalkan risiko saat investasi.

Baca Juga: Mengenal IDX Sharia Growth, Indeks 30 Saham Syariah dengan Tren Pertumbuhan Laba Bersih dan Pendapatan