Pajak Penghasilan - Jenis, Subjek, Objek, Tarif, dan Cara Menghitungnya Terlengkap

PPh atau Pajak Penghasilan adalah salah satu jenis pajak pusat yang dikenakan atas setiap penghasilan. Jadi, kalau kamu memperoleh gaji, upah, sampai dividen dari hasil investasi saham, akan dipungut pajak penghasilan.

Untuk memahami lebih jelas tentang pajak penghasilan, berikut ulasan lengkapnya yang dirangkum Cermati.com dari laman resmi Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan.

Baca Juga: Pajak Penghasilan PPh Terbaru: Tarif dan Cara Menghitungnya

Bingung Cari Produk Kredit Tanpa Agunan Terbaik? Cermati punya solusinya!

Bandingkan Produk KTA Terbaik! 

loader
Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas setiap penghasilan yang diterima wajib pajak. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri dan dapat dipakai untuk konsumsi serta menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 

Dasar hukum UU Pajak Penghasilan adalah UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Seiring perkembangan zaman, UU tentang Pajak Penghasilan ini telah mengalami beberapa perubahan:

  • UU Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  • UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  • UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan yang merupakan Perubahan Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983
  • UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang merupakan Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983
  • UU Pajak Penghasilan Terbaru adalah UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.

Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak penghasilan adalah pihak atau orang yang harus membayar pajak penghasilan sehubungan dengan penghasilan yang diterima dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak.

Yang termasuk subjek pajak penghasilan adalah:

1. Subjek pajak penghasilan orang pribadi

Subjek pajak penghasilan orang pribadi adalah wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan sebagai karyawan maupun pekerjaan bebas, yang bertempat tinggal di Indonesia dan luar Indonesia.

Subjek pajak penghasilan orang pribadi terbagi dua, yakni:

  • Subjek pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri

Subjek pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Jangka waktunya lebih dari 183 hari dalam kurun 12 bulan.

  • Subjek pajak penghasilan orang pribadi luar negeri

Orang pribadi yang menjadi subjek pajak penghasilan luar negeri adalah yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari selama 12 bulan. Namun dia menjalankan usaha atau kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

2. Subjek pajak penghasilan badan

Badan yang termasuk subjek pajak penghasilan antara lain, perusahaan terbatas, perseroan komanditer, BUMN atau BUMDfirma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk badan lainnya.

  • Badan yang didirikan atau bertempat di Indonesia
  • Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, tetapi menjalankan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

3. Subjek pajak penghasilan warisan yang belum terbagi

Warisan yang belum terbagi merupakan subjek yang dikenakan pajak penghasilan. Kewajiban pajaknya dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi, dan berakhir saat warisan selesai dibagi.  

Artinya, warisan yang belum dibagi masih dimiliki atas nama pewaris. Jika pewaris memiliki NPWP, pewaris tersebut masih wajib membayar pajak penghasilan dan melaporkan hartanya di SPT Tahunan karena warisan berpotensi memberi keuntungan atau penghasilan. Dalam hal ini, harus diwakilkan oleh ahli waris.

Namun bila warisan sudah dibagikan, maka warisan tersebut bukan merupakan objek pajak penghasilan lagi dan ahli waris terbebas dari pembayaran pajak atas harta warisan.

4. Subjek pajak penghasilan Badan Usaha Tetap (BUT)

Bentuk Usaha Tetap adalah subjek pajak yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak penghasilan badan. Badan Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang digunakan orang pribadi luar negeri dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia dapat berupa:

Tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan, perikanan, konstruksi, dan lainnya.

Yang bukan subjek pajak penghasilan, antara lain:

  • Kantor perwakilan negara asing
  • Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat
  • Organisasi-organisasi internasional dengan syarat tertentu, seperti tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia
  • Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang bukan WNI dan tidak menjalankan kegiatan usaha.

Objek Pajak Penghasilan

Objek pajak penghasilan adalah pengertian yang sama dengan penghasilan. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak penghasilan, antara lain:

A. Penghasilan sebagai Objek Pajak 

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, bonus, komisi, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan lainnya

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan dan penghargaan

3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta:

  • Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
  • Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
  • Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun
  • Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil
  • Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak

6. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

9. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

10. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

11. Keuntungan selisih kurs mata uang asing

12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

13. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi

14. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

15. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

16. Penghasilan dari usaha berbasis syariah

17. Imbalan bunga

18. Surplus Bank Indonesia.

B. Penghasilan yang Dikenai Pajak Penghasilan Final

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai Pajak Penghasilan Final, antara lain:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi

2. Penghasilan berupa hadiah undian

3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura

4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah atau bangunan

5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Berikut ini yang bukan merupakan objek pajak penghasilan pph adalah:

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah

2. Harta hibahan

3. Warisan

4. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham

5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan

6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi

7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas

  • Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
  • Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor

8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai

9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma

11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia

12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan atau bidang penelitian dan pengembangan

14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada wajib ajak tertentu

15. Hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa.

Baca Juga: PPh Pasal 29, Inilah Penjelasan, Tarif, dan Perhitungannya

Jenis Pajak Penghasilan

loader
Jenis Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan dibagi dalam beberapa jenis. Berikut jenis pajak penghasilan (PPh):

Pajak Penghasilan Pasal 21

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

B. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Pemotong pajak penghasilan pasal 21, meliputi:

1. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan, sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai

2. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan

3. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun

4. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan jasa, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas

5. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

C. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21

Penerima penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pph 21 atau subjek pajak penghasilan pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:

1. Pegawai

2. Penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun, termasuk ahli warisnya

3. Bukan pegawai yang menerima penghasilan, sehubungan pemberian jasa, yakni:

  • Tenaga ahli, seperti pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris
  • Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/wati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya
  • Olahragawan
  • Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
  • Pengarang, peneliti, dan penerjemah
  • Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan
  • Agen iklan
  • Pengawas atau pengelola proyek
  • Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara
  • Petugas penjaja barang dagangan
  • Petugas dinas luar asuransi
  • Distributor perusahaan MLM atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap pegawai tetap pada perusahaan yang sama

5. Mantan pegawai

6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, seperti lomba seni, olahraga, teknologi, pengertahuan, rapat, konferensi, dan lainnya.

D. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21

Objek pajak penghasilan pasal 21, antara lain:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur dan tidak teratur

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun

3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun

4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan

5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya

6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan.

Objek penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan pasal 21 adalah pembayaran manfaat atau santunan asuransi, penerimaan dalam bentuk natura, iuran pensiun, zakat, beasiswa.

E. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21

Tarif pajak penghasilan pasal 21 sesuai dengan UU Pajak Penghasilan Pasal 17 dikenakan tarif pajak progresif. Tarif pajak penghasilan PPh 21 berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun:

  • PKP sampai dengan Rp 50 juta = 5%
  • PKP di atas Rp 50 juta – Rp 250 juta = 15%
  • PKP di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta = 25%
  • PKP di atas Rp 500 juta – Rp 5 miliar = 30%
  • PKP di atas Rp 5 miliar = 35% (penambahan layer tarif PPh 21 pada UU HPP).

Tarif ini berlaku bagi wajib pajak yang memiliki NPWP. Jika tidak punya NPWP, dikenakan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang menggenggam NPWP.

Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak, yakni penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan tidak kena pajak adalah pengurangan penghasilan neto yang diberikan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri untuk menentukan jumlah penghasilan kena pajak. 

Besaran PTKP per tahun untuk wajib pajak orang pribadi:

  • Rp 54 juta untuk wajib pajak berstatus lajang
  • Rp 4,5 juta tambahan untuk wajib pajak status kawin
  • Rp 54 juta tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami
  • Rp 4,5 juta tambahan untuk setiap anggota sedarah, dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan. Paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

F. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21

Menghitung pajak penghasilan pasal 21 dapat dilihat dari contoh soal di bawah ini:

Wajib pajak punya NPWP

Ari seorang karyawan lajang dan tanpa tanggungan, memiliki penghasilan neto setahun Rp 80.000.000. PTKP TK/0 setahun = Rp 54.000.000

  • PKP setahun = Rp 80.000.000 – Rp 54.000.000 = Rp 26.000.000
  • Pajak Penghasilan Terutang (PPh 21 Terutang) = 5% (tarif PPh 21) x Rp 26.000.000 = Rp 1.300.000.

Jika Ari tidak punya NPWP, perhitungan pajak penghasilan 21

  • PPh 21 Terutang = 5% x 120% x Rp 26.000.000 = Rp 1.560.000.

Pajak Penghasilan Pasal 22

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak penghasilan pasal 22 adalah pemungutan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian barang.

Pemungut pajak penghasilan 22, antara lain:

  • Bank devisa dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
  • Bendahara pemerintah dan kuasa pengguna anggaran (KPA)
  • Bendahara pengeluaran
  • Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar
  • BUMN, seperti Pertamina, PLN, PGN, Telkom, Wijaya Karya, dan bank-bank BUMN, serta lainnya
  • Industri dan eksportir di sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan
  • Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas pertambangan.

Perusahaan yang wajib memungut pajak penghasilan 22 saat penjualan:

  • Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, kertas, baja, otomotif, farmasi
  • Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
  • Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
  • Badan usaha yang bergerak di industri baja yang termasuk industri hulu
  • Pedagang pengumpul
  • Badan usaha yang melakukan penjualan barang sangat mewah.

B. Objek Pajak Penghasilan Pasal 22

Objek pemungutan pajak penghasilan pasal 22 adalah pembelian barang, seperti komputer, mebel, mobil dinas, alat tulis kantor, dan barang lainnya oleh pemerintah kepada wajib pajak rekanan penjual barang.

Yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan pasal 22, yaitu:

  • Pembelian barang dengan nilai pembelian paling banyak Rp 2 juta dan tidak dipecah dalam beberapa faktur
  • Pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM, dan benda pos
  • Pembayaran untuk pembelian barang yang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
  • Impor barang-barang atau penyerahan barang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh
  • Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk atau PPN, seperti kiriman hadiah, untuk tujuan keilmuan, dan lainnya
  • Emas batangan yang akan diproses untuk hasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor

C. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22

Tarif pajak penghasilan pasal 22 yang umum = 1,5% x Harga Beli (tidak termasuk PPN). Bagi yang tidak memiliki NPWP, dikenakan tarif PPh 22 sebesar 3%.

1. Atas impor:

  • Yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor
  • Non-API = 7,5% x nilai impor
  • Yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, bendahara pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final)

3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak, yaitu:

  • Kertas = 0,1% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Semen = 0,25% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Baja = 0,3% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Otomotif = 0,45% x DPP PPN (Tidak Final)

4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

  • Pungutan pajak penghasilan 22 kepada penyalur atau agen bersifat final. Selain itu, bersifat tidak final

5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)

6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor

7. Atas penjualan = 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM

  • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 miliar
  • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar
  • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
  • Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
  • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle(mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 miliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.

Bagi yang tidak memiliki NPWP, kena pajak penghasilan pasal 22 yang lebih tinggi 100% daripada ketentuan tarif di atas. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan pajak penghasilan pasal 22 yang bersifat tidak final.

D. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 22

Contoh soal pajak penghasilan pasal 22 atau cara menghitung pajak penghasilan 22, yakni:

Pada 20 Februari 2021, bendahara membeli 4 printer dari PT Super Komputindo (NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp 22.000.000 (harga termasuk PPN).

  • Harga pembelian = Rp 22.000.000
  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = 100/110 x Rp 22.000.000 = Rp 20.000.000
  • Pungutan PPN = 10% x Rp 22.000.000 = Rp 2.000.000
  • Pajak penghasilan pasal 22 yang dipungut = 1,5% x 20.000.000 = Rp 300.000.

loader
Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan Pasal 23

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak penghasilan pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, hadiah, penghargaan, selain yang telah dipotong pajak penghasilan pasal 21.

B. Objek Pajak Penghasilan Pasal 23

Objek pajak penghasilan pasal 23, antara lain:

  • Dividen
  • Bunga
  • Royalti
  • Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada orang pribadi
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah atau bangunan
  • Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain, selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan pph 21.

C. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23

Tarif pajak penghasilan pph 23 yang umum = 2% x Jumlah Bruto (tidak termasuk PPN). Jika tidak memiliki NPWP, berlaku tarif pajak penghasilan pasal 23 sebesar 100% lebih tinggi.

Tabel Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23

No

Uraian

Tarif x DPP

1

Dividen

(Termasuk pengertian dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis)

Tidak termasuk Dividen yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah:

  • Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan kepada anggota koperasi (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf fUU 36 tahun 2008);
  • Bagian laba yang diterima oleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif (KIK), (karena bukan merupakan objek pajak sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf i UU 36 tahun 2008) dan karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf e UU 36 tahun 2008);
  • Dividen yang dibagikan kepada WP Orang Pribadi, karena masuk PPh Pasal 4(2).
  • Dividen yang diterima WP Badan Dalam Negeri, koperasi, BUMN, BUMD, dengan syarat:
    • Dividen berasal dari cadangan laba ditahan; dan
    • Bagi penerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
    • (karena bukan objek pajak, diatur di Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh)

15% x jumlah bruto

Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

 

Disetor dengan SSP (surat setoran pajak) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

KAP (Kode Akun Pajak): 411124

KJS (Kode Jenis Setoran): 101

Dilaporkan oleh Pemotong dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

2

Bunga

Tidak termasuk pengertian bunga yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:

  • Jika penghasilan dibayar/ terutang kepada bank (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf aUU 36 tahun 2008);
  • Jika penghasilan dibayar/ terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan PMK (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf hUU 36 tahun 2008); Diatur lebih lanjut dalam PMK 251/PMK.03/2008.
  • Bunga deposito, tabungan (yg didapatkan dari bank), dan Diskonto SBI, karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2);
  • Bunga Obligasi, karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2);
  • Bunga simpanan yang dibayarkan Koperasi kepada anggota koperasi Orang Pribadi (WP OP), karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2).

15% x jumlah bruto

Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

 

Disetor dengan SSP paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

KAP: 411124

KJS: 102

Dilaporkan oleh Pemotong dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

3

Royalti

15% x jumlah bruto

Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

Disetor dengan SSP paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

KAP: 411124

KJS: 103

Dilaporkan oleh Pemotong dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

4

Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21

Tidak termasuk hadiah dan penghargaan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:

  • Hadiah atau penghargaan dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya yang diterima oleh WP OP Dalam Negeri (karena termasuk pemotongan PPh Pasal 21);
  • Hadiah undian, karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2);
  • Hadiah langsung dalam penjualan barang/ jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli/ konsumen akhir tanpa diundi, (karena bukan termasuk objek pajak);

15% x jumlah bruto

Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

 

Disetor dengan SSP paling lambat tgl 10 bulan berikutnya.

KAP: 411124

KJS: 100

Dilaporkan oleh Pemotong dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

5

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali yang telah dikenakan PPh Pasal 4(2).

Tidak termasuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:

  • sewa tanah dan/ atau bangunan karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2)
  • sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, karena dalam Pasal 23 ayat (4) huruf b UU 36 tahun 2008 dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.

2% x jumlah bruto

Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

 

Disetor dengan SSP paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

KAP: 411124

KJS: 100

Dilaporkan oleh Pemotong dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

6

Jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Untuk Jasa Konstruksi mulai dari 1 Januari 2008 pemotongan PPh Pasal 4(2)

2% x jumlah bruto

Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.

 

Disetor dengan SSP paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

KAP: 411124

KJS: 104

Dilaporkan oleh Pemotong dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

D. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 23

Contoh soal cara menghitung pajak penghasilan pasal 23 atas dividen:

PT ABCD melakukan pembayaran dividen tunai kepada pemegang saham Z sebesar Rp 40.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesar 20%. Dividen dibayarkan pada 10 Juni 2021. Keduanya memiliki NPWP.

  • Pajak Penghasilan PPh 23 = 15% x Rp 40.000.000 = Rp 6.000.000
  • Saat terutang akhir bulan dilakukan pembayaran pada tanggal 30 Juni 2021
  • Saat penyetoran paling lambat 10 Juli 2021
  • Saat pelaporan PPh Pasal 23 paling lambat 20 Juli 2021.

Contoh soal perhitungan pajak penghasilan pasal 23 atas jasa:

PT Angin Ribut membayarkan jasa konsultan dari PT Guntur Jaya sebesar Rp 150.000.000 (sudah termasuk PPN). PT Guntur Jaya tidak memiliki NPWP.

  • Pajak Penghasilan Pasal 23 = 200% x 2% x Rp 150.000.000 = Rp 6.000.000.

Baca Juga: PPh Pasal 17: Penjelasan, Tarif, dan Perhitungannya

Pajak Penghasilan Pasal 25

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25

Pajak penghasilan pasal 25 adalah jenis pajak penghasilan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak secara angsuran.  

B. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 25

Cara menghitung pajak penghasilan pasal 25 = Penghasilan Neto x Tarif Pajak / 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Jika kamu wajib pajak orang pribadi, terlebih dahulu mengurangkan penghasilan neto dengan PTKP, sebelum dikalikan dengan tarif pajak. Hasilnya disebut PKP. 

Contoh soal cara menghitung pajak penghasilan pasal 25:

Andi (TK/0) terdaftar sebagai wajib pajak pada KPP A tanggal 1 Februari 2015. Penghasilan neto fiskal setahun pada 2018 adalah Rp 100.000.000. Besarnya pajak penghasilan PPh 25 setiap bulan untuk tahun 2019:

  • Penghasilan neto setahun = Rp 100.000.000
  • PTKP (TK/0) = Rp 54.000.000
  • PKP = Rp 000.000
  • Pajak penghasilan terutang = 5% x Rp 000.000 = Rp 2.300.000
  • Angsuran PPh Pasal 25 di April 2019 adalah = 1/12 x Rp 300.000 = Rp 191.667

PT Sumber Berkah terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri pada KPP C tanggal 1 Februari 2015. Peredaran bruto setahun lebih dari Rp 50.000.000.000. Penghasilan neto (laba fiskal) dapat dihitung berdasarkan pembukuan sebesar Rp 120.000.000setahun. Besarnya PPh pasal 25 di Februari 2019:

  • Penghasilan neto (laba fiskal) 2019 = Rp 000.000
  • PPh Terutang = 25% x Rp 000.000 = Rp 30.000.000
  • Angsuran PPh Pasal 25 per bulan di 2019 = 1/12 x Rp 000.000 = Rp 2.500.000.

Pajak Penghasilan Pasal 26

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26

Pajak penghasilan pasal 26 adalah jenis pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), diwajibkan untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut. 

B. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 

1

Penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN berupa:

·       Deviden

·       Bunga termasuk Premium,Diskonto dan Imbalan jaminan pengembalian hutang

·       Royalti

·       Sewa

·       Penghasilan penggunaan harta

·       Imbalan sehubungan dengan jasa pekerjaan dan kegiatan

·       Hadiah dan penghargaan

·       Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

·       Premi swap

·       Keuntungan karena pembebasan utang.

20% x Penghasilan Bruto atau Tax Treaty (P3B)

Penyetoran menggunakan SSP dengan:

KAP: 411127

KJS:

·       Deviden: 101

·       Bunga: 102

·       Royalti: 103

·       Jasa: 104

·       Selain Deviden, Bunga, Royalti, Jasa: 100

 

2

Penjualan atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yang diperoleh WPLN

Harta yang dimaksud berupa:

Perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 adalah:

WP OP Luar Negeri yang memperoleh penghasilan tidak melebihi Rp 10 juta untuk setiap jenis transaksi. (Pasal 3 ayat (2) PMK 82/PMK.03/2009)

20% x Perkiraan Neto

Perkiraan neto =25% x harga jual

Sehingga tarif efektif:

20% x 25% x harga jual = 5% x harga jual

FINAL

Pemotong Pajak wajib:

·       Memberikan bukti potong PPh Pasal 26

·       Menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama WPLN yang menjual harta paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan transaksi;

·       Melaporkan PPh Pasal 26 yang dipotong paling lama tanggal 20 bulan berikutnya.

Penyetoran menggunakan SSP dengan:

KAP: 411127

KJS: 100

 

3

Penjualan saham oleh WPLN

Saham yang diperjualbelikan adalah saham dari PT di dalam negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik. (Pasal 1 KMK 434/KMK.04/1999)

 

20% x perkiraan neto

Perkiraan neto=25% x harga jual

Sehingga tarif efektif:

20% x 25% x harga jual = 5% x harga jual

FINAL

Jika pembeli adalah:

  • WPLN, maka pemotong pajaknya adalah Perseroan (PT Dalam Negeri) yang sahamnya diperjualbelikan.
  • WPDN yang ditunjuk sebagai pemotong, maka pemotong pajaknya adalah WPDN sebagai pembeli. Dan perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang telah dibayar lunas dengan bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya.

Penyetoran menggunakan SSP dengan:

KAP: 411127

KJS: 100

 

4

Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di LN

20% x perkiraan neto

Perkiraan neto:

  1. 50% dari Premi yang dibayarkan oleh pihak yang tertanggung kepada perusahaan asuransi LN. Sehingga tarif efektif = 20% x 50% = 10%. Pemotong pajak adalah tertanggung.
  2. 10% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi LN. Sehingga tarif efektif = 20% x 10% = 2%. Pemotong Pajak adalah perusahaan asuransi di Indonesia.
  3. 5% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di LN. Sehingga tarif efektif = 20% x 5% = 1%. Pemotong pajak adalah perusahaan reasuransi di Indonesia.

Penyetoran menggunakan SSP dengan:

KAP: 411127

KJS: 100

 

5

BUT (Bentuk Usaha Tetap) / Permanent Establishment

Dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) jika penghasilan BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:

  1. penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
  2. Perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia tersebut harus  aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak didirikan;
  3. penanaman kembali dilakukan dalam tahun ajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima/diperolehnya penghasilan tersebut
  4. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi komersial.

Atas Laba BUT sebelum pajak:

→dikenakan tarif Pasal 17

Penyetoran seperti WP Badan DN.

 

Atas Laba BUT setelah pajak yang tidak ditanamkan kembali di Indonesia:

→dikenakan 20% x laba setelah pajak

Penyetoran PPh Pasal 26 atas Laba BUT setelah pajak, menggunakan SSP dengan:

KAP: 411127

KJS: 105

 

C. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 26

Contoh soal cara menghitung pajak penghasilan pasal 26:

Thomas George seorang warga negara Amerika Serikat memiliki 30% saham atas PT Surya Kencana Semesta di Indonesia. Tahun ini, George menjual seluruh sahamnya senilai Rp 10 miliar kepada Surat Singh warga negara India.

Asumsinya tidak ada tax treaty antara Indonesia dan India, maupun Amerika Serikat sehubungan dengan transaksi tersebut. Maka, perhitungan PPh Pasal 26:

  • Pajak Penghasilan Pasal 26 = 20% x 25% x Rp 10.000.000.000 = Rp 600.000.000 (kena pajak penghasilan bersifat final).

Bayar Pajaknya, Juga Lapor SPT Tahunan

Indonesia menganut sistem pajak self assessment, yakni wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melapor kewajiban perpajakannya sendiri.

Oleh karena itu, kenali jenis-jenis pajak penghasilan yang berlaku di Tanah Air, hitung dan bayar pajaknya, serta lapor SPT Tahunan secara benar dan jujur.

Jika sudah taat membayar dan lapor pajak, awasi penggunaannya. Bila kamu mencurigai adanya korupsi, penyelewengan uang pajak, segera adukan ke Ditjen Pajak maupun Kementerian Keuangan untuk dapat ditindaklanjuti.

Baca Juga: SPT Tahunan - Jenis Formulir, Contoh, dan Cara Lapornya