Likuidasi, Strategi Menyelamatkan atau Akhir dari Usaha?

Mungkin bagi Anda yang tidak berkecimpung di dunia perekonomian, kata yang satu ini cukup asing terdengar di telinga. Tidak ada kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan kata yang satu ini. 

Kecuali, Anda pernah melakukan kegiatan simpan pinjam di sebuah Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Barulah, kata likuidasi akan menjadi sebuah hal umum yang perlu diantisipasi.

Lalu apa sebenarnya likuidasi itu? Berikut penjelasan selengkapnya.

Baca Juga: Mengenal BPR dan Perbedaannya dengan Bank Umum

Apa Itu Likuidasi?

Likuidasi

Menurut berbagai sumber, kata likuidasi sendiri memiliki banyak makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), likuidasi adalah sebuah pembubaran perusahaan sebagai badan hukum. 

Pembubaran tersebut, berarti perusahaan tidak akan lagi dikenakan kewajiban kepada para kreditornya lagi. Harta yang tersisa, kemudian akan dibagi rata kepada pemilik saham setelah semua urusan perusahaan tersebut terbayarkan.

Sedangkan, berdasarkan Black Law Dictionary 6th Edition, likuidasi adalah proses untuk menguangkan aset ke dalam bentuk tunai, melepas kewajiban yang ada, dan membagi hartanya kepada shareholders. Kejadian ini terjadi karena perusahaan tidak lagi memiliki izin legal.

Ada dua lembaga pemerintah yang memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan likuidasi bank atau perusahaan. Keduanya adalah, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagai lembaga pemerintah yang kredibel, LPS dan OJK sendiri memiliki pertimbangan yang kuat sebelum melakukan likuidasi. Ada banyak sekali hal yang dinilai, sebelum pilihan ini diambil yaitu:

  1. Munculnya Fraud dari Internal Bank

    Ini merupakan alasan yang paling banyak ditemui. Bak dosa dalam dunia perbankan, fraud merupakan dosa yang paling tidak bisa diampuni oleh Bank Indonesia (BI).

    Tidak hanya merugikan nasabah yang menyimpan uangnya di Bank. Tindakan ini, juga secara tidak langsung merugikan negara. Baik secara moril, maupun secara finansial. 

    Fraud sendiri adalah sebuah tindakan curang yang dilakukan oleh seorang individu. Biasanya pelaku menipu nasabahnya secara licik. Bahkan tanpa korban sadari, bahwa mereka sedang tertipu.

    Fraud sendiri pasti dilakukan oleh salah satu internal bank yang bersangkutan. Adapun beberapa tindakan yang termasuk dalam fraud yakni, tidak terduga (surprise), pencurian (theft), licik (cunning), tipu daya (trickery), pengubahan (conversion), dan penyembunyian (concealment).

    Tindakan fraud sendiri ditanggapi BI dengan serius. Mereka mengeluarkan Surat Edaran (SE) No.13/28/DPNP pada 9 Desember 2011. Dalam SE tersebut menjelaskan, semua bank harus menerapkan strategi anti fraud tanpa terkecuali.
    Salah satu contoh kasus fraud paling terkenal, melanda Inong Malinda alias Malinda Dee pada 2011 lalu. Mantan Senior Relationship Manager sebuah Bank Umum itu melakukan pembobolan dana nasabah private yang dimiliki kantornya.

    Kelakuannya diketahui, ketika ditemukan transaksi yang tidak wajar di akun banknya. Malinda sendiri memegang 236 nasabah. Dana nasabah dicurigai telah disalahgunakan oleh seseorang. Setelah melakukan penyelidikan oleh kepolisian, Malinda Dee pun ditetapkan sebagai tersangka.

    Dia dijerat pasal 6 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010, tentang tindakan pencucian uang juga UU Nomor 10 Tahun 1998, tentang perbankan. 

  2. Tidak Sanggup Menghadapi Persaingan

    Seperti yang kita tahu, ada banyak sekali bank yang berdiri di Indonesia. Masing-masing memiliki tujuan yang sama yakni mendapatkan kepercayaan nasabah agar mau menyimpan uangnya di bank mereka.

    Tidak hanya sesama Bank Umum yang sudah memiliki nama saja. Persaingan justru semakin sengit di tingkat BPR. Selain melakukan persaingan kepada sesama BPR, mereka sendiri juga harus bersaing mendapatkan nasabah dengan Bank Umum.

    Sedangkan, BPR dan Bank Umum sendiri memiliki fitur yang sangat berbeda. Berdasarkan pengertian PJK, BPR hanya melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berprinsip syariah.

    Berbeda dari Bank Umum, BPR tidak diperbolehkan untuk menerima simpanan berupa giro, kegiatan valuta asing (valas), dan menyediakan asuransi. BPR hanya diperbolehkan untuk menerima simpanan, memberikan kredit, menyediakan pembiayaan, dan menempatkan dananya berbentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

    Minimnya hal yang bisa dilakukan oleh BPR tentu saja membuat banyak nasabah berpikir dua kali untuk melakukan transaksi. Mereka tentu saja lebih memilih Bank Umum yang terkesan lebih aman dan memberikan fasilitas lebih lengkap.

    Hal ini membuat BPR cenderung tidak bisa mendapatkan nasabah dengan jumlah yang tinggi. BPR yang bahkan sudah tidak dipercaya oleh nasabahnya, lama kelamaan pun tidak akan bisa bertahan.

    Pemasukan yang masuk dari nasabah, pun habis digunakan untuk membiayai operasional. Sehingga, bank pun tidak bisa mengembalikan uang yang sudah disimpan oleh nasabah. Bank pun menjadi pailit dan satu-satunya jalan keluar adalah melakukan likuidasi.

    Sehingga pembayaran simpanan kepada nasabah, akan diambil alih oleh OJK atau LPS. Tentunya, setelah mereka menyelesaikan proses likuidasi terhadap bank tersebut. Hingga di akhir, LPS dan/atau OJK akan menentukan apakah pemilik saham memiliki sisa harta untuk dibagi atau tidak.

  3. Dinyatakan Tidak Bisa Membayar Pajak

    Kasus yang satu ini, merupakan kasus yang cukup jarang ditemui. Namun, bisa saja menjadi alasan LPS dan/atau OJK melakukan likuidasi terhadap bank tersebut. Apalagi jika misalnya bank yang bersangkutan telah melakukan penunggakan pajak.

    Seperti perusahaan-perusahaan pada umumnya. Untuk membangun sebuah Bank, seseorang juga butuh modal. Modal tersebut, kemudian digunakan untuk berbagai macam hal.

    Salah satunya, adalah untuk mengurus kebutuhan legal dari bank yang dimiliki. Seperti yang banyak orang tahu, baik Bank Umum dan BPR banyak yang dimiliki oleh swasta. Maka, negara pun tetap menghitung kegiatan yang satu ini sebagai usaha yang dikenai pajak.

    Baik OJK maupun LPS berhak melakukan pengecekan terhadap Bank Umum dan BPR yang hendak berdiri. Pengecekan akan dilakukan secara ketat. 

    Setiap Bank Umum dan BPR diwajibkan untuk memiliki manajemen yang baik untuk mengelola modalnya. Jika dalam perjalanan, mereka tidak bisa membayar pajak atau malah menunggak. OJK dan LPS memiliki kewenangan untuk melikuidasi bank tersebut.

Baca Juga: Cermati Hal-Hal Berikut Sebelum Gadai Sertifikat Rumah di BPR

Sudah Ada 102 Bank yang Dilikuidasi

Semenjak pertama kali berdiri pada 2006 lalu hingga terakhir 31 Januari lalu, terhitung LPS sudah melikuidasi 102 bank yang ada di Indonesia. Bank tersebut terdiri dari 1 Bank Umum, dan 101 BPR yang dicabut izinnya.

Dari aktivitas tersebut, LPS bisa mengembalikan simpanan kepada nasabah bank yang bersangkutan sebesar Rp1,5 triliun. Jumlah tersebut, langsung dibayarkan kepada nasabah yang memenuhi syarat.

Jumlah ini sebenarnya belum mencapai persentase 100% dari nasabah yang seharusnya dibayarkan. Jumlah tersebut baru memenuhi persentase 81% saja. Total ada 242.022 nasabah bank yang simpanannya sudah terbayarkan.

Sisanya, yakni 19 % dari nasabah yang ada dinyatakan tidak layak untuk dibayar simpanannya. Persentase tersebut terdiri atas 17.155 nasabah yang dinyatakan tidak layak.

Ada beberapa pertimbangan keputusan tersebut diambil, seperti:

  1. Tingkat suku bunga pinjaman yang berlebih. Dengan persentase 76,98%, alias sebesar Rp278,75 Miliar dari 17.155 nasabah.
  2. Nasabah memiliki kredit macet. Dengan total nilai simpanan sebesar Rp48,30 Miliar yang tidak dibayarkan. 
  3. Sedangkan sisanya 9,6% berasal dari para nasabah yang tidak tercatat oleh bank. Tanpa adanya catatan tersebut, LPS tidak bisa menyatakan bahwa nasabah memiliki simpanan di bank yang bersangkutan. Total ada Rp35,02 Miliar yang tidak dibayarkan karena alasan ini.

Apakah Ini Merupakan Strategi yang Tepat?

Dari semua alasan yang ada di atas, hanya tertinggal satu pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah keputusan likuidasi ini sendiri, merupakan sebuah hukuman bagi pemilik bank atau tidak?

Dalam satu sisi, LPS dan OJK memutuskan untuk mencabut izin legal dari bank tersebut karena adanya fraud. Namun, Anda tidak bisa menutup mata, jika banyak keputusan likuidasi yang didasari semata karena pemilik usaha pailit dan tidak mampu membayar nasabah.

Sehingga keputusan likuidasi sendiri merupakan satu-satunya hal bijak yang harus diambil. Mereka menyerahkan semua harta dan asetnya kepada LPS dan OJK untuk dihitung dan dibagikan.

Baca Juga: Pahami Apa Itu Likuiditas, Aspek Terpenting dalam Perusahaan